Pasalnya, hampir setahun penuh tanpa jeda, bahkan sampai saat ini memasuki Tahun 2021, umat manusia di berbagai belahan dunia ini, tak terkecuali warga masyarakat bangsa Indonesia telah mengalami suatu paradoks kehidupan yang disebut sebagai Normal Baru, yang sebetulnya merupakan suatu tatanan kehidupan yang tidak normal.
*Betapa tidak, atas situasi pandemi ini, maka semua segi dan sub kultur kehidupan umat manusia mengalami goncangan* perubahan secara sosial ekonomi dan sosial budaya dengan muatan politisasi situasi oleh para politisi oportunis, dan rasanya kita seperti sedang berada di planet lain, karena semua irama kehidupan sedang berada dalam situasi yang tidak normal dan tak menentu.
Meski melewati jalan *terjal di tepi jurang kehidupan sosial ekonomi dan kesehatan yang amat mencekam karena bahaya Pandemi Covid -19*, tetapi jalan itu dilalui dengan beragam risiko, tanpa gejolak sosial politik yang berarti dan signifikan.
Ini disebabkan karena bangsa Indonesia memiliki Empat Komitmen Kebangsaan yang telah menjadi semacam base line dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. (*lanjutkan artikel kreeen berikut di bawah ini ...* 💪😃ðŸ‘👪👇 )
https://www.infotangsel.co.id/2021/01/intoleransi-dalam-demokrasi-kebangsaan_11.html
Meskipun demikian, dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Falsafah Negara Pancasila dengan menganut Sistem Politik dan Pemerintahan yang mengacu kepada Nilai Demokrasi, kerap kali hal itu justru menjadi bumerang bagi Sistem Demokrasi itu sendiri.
Dikatakan demikian, karena demi Demokrasi, maka di dalam dirinya an sich berkembang biak secara leluasa, tidak hanya Virus Corona, tetapi ada Varian Virus lain yang jauh lebih berbahaya yaitu Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme. Ketiga Virus ini adalah saudara sepupu, yang merupakan muatan Three In One di dalam satu Sistem Demokrasi Kebangsaan yang sedang terjadi di Tanah Air.
Intoleransi dan Kemunduran Demokrasi
Dinamika dan perkembangan iklim Politik dan Demokrasi di negeri ini sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama terkait dengan Residu Perubahan Politik Pasca Reformasi di Indonesia.
Sehubungan dengan hal itu, maka sebagaimana yang disinyalir oleh Burhanuddin Muhtadi (2018) bahwa, dalam dua dasawarsa masa reformasi ini, kehidupan berdemokrasi di Indonesia, tampak belum sepenuhnya mengalami peningkatan kualitasnya secara signifikan.
Hal yang terjadi justru sebaliknya, dimana demokrasi mengalami kemunduran. Dan paling tidak, terdapat dua masalah yang dinilai berkontribusi pada kemunduran Demokrasi di Indonesia, yaitu Korupsi dan Intoleransi.
Hal inilah yang melatarbelakangi LSI (Lembaga Survey Indonesia) melakukan Survei Nasional mengenai tren persepsi publik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi.
Dilaporkan bahwa, survei dilakukan selama 1-7 Agustus 2018 dengan melibatkan 1.520 responden Muslim dan non-Muslim. Hasil survei memperlihatkan bahwa, salah satu penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia adalah "Kebebasan Sipil" sebagai derivasi dari Pemberlakuan Sistem Demokrasi itu sendiri.
Terkait dengan hal itu, maka ukurannya adalah bahwa, apapun latar belakang agama, sosial, dan etnik, setiap orang mestinya mendapat peluang yang sama untuk menjadi pejabat publik atau menjalankan hak beribadah, berkeyakinan, dan berekspresi sesuai dengan Ajaran Agama dan Kepercayaannya itu.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa, secara teknis, ada enam pertanyaan yang diajukan, dimana empat pertanyaan terkait dengan Intoleransi Politik, dan dua lainnya mengenai Intoleransi Religius dan Kultural.
Pertanyaan terkait dengan Intoleransi Politik kepada responden Muslim di antaranya adalah apakah Anda keberatan atau tidak keberatan, jika non-Muslim menjadi Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati atau Wali Kota. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden non-Muslim.
Sedangkan pertanyaan terkait Intoleransi Religius misalnya soal izin mendirikan rumah ibadah bagi Muslim atau non-Muslim serta Perayaan Keagamaan di sekitar tempat tinggal Anda.
Atas hasil survei tersebut dilaporkan bahwa, mayoritas Warga Muslim (54 persen) tidak keberatan jika orang non-Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya. Tetapi sebagian besar Warga Muslim (52 persen) keberatan kalau orang non-Muslim membangun Rumah Ibadah di sekitar tempat tinggalnya.
Demikian juga dijelaskan bahwa, 52 persen Warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi Wali Kota, Bupati, atau Gubernur. Sebanyak 55 persen Warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi Wakil Presiden. Penolakan makin besar ketika jabatan yang ditanyakan adalah Presiden, di mana 59 persen Warga Muslim keberatan bila non-Muslim menjadi Presiden.
Sebaliknya, dinarasikan juga bahwa, mayoritas warga non-Muslim (84 persen) tidak keberatan jika orang Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya, 70 persen tidak keberatan bila warga Muslim membangun tempat ibadah, di sekitar tempat tinggalnya, dan 78 persen tidak menolak kalau orang Muslim menjadi Wali Kota, Bupati, atau Gubernur, dan 86 persen warga non-Muslim tidak keberatan jika orang Muslim menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Kemudian, Burhanuddin (ibid) menjelaskan bahwa Intoleransi Politik terhadap non-Muslim terus berlanjut dan efeknya mulai menular ke level sosial dalam sudut pandang yang lebih luas. Dijelaskannya pula bahwa, sebelum ada Gerakan 212, tren Intoleransi Politik dan Intoleransi Religius memang berada pada posisi sosial yang landai.
Sehubungan dengan itu, ditegaskannya pula bahwa, bukan Gerakan 212 yang merupakan puncak dari radikalisme dan intoleransi, tetapi Gerakan 212 yang justru membuka keran terhadap makin naik dan maraknya perilaku intoleransi di muka publik dalam negeri.
Meskipun demikian, pada sisi lain ada hasil yang cukup memberi harapan. Survei ini memperlihatkan bahwa, dukungan pada peran dan orientasi Demokrasi mencapai 83 persen, atau naik dibanding tahun sebelumnya, yang mencapai 76 persen. Demikian pula tingkat kepuasan atas jalannya Demokrasi yang mencapai 73 persen.
Survei inipun mengungkapkan bahwa, mayoritas responden setuju dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, yakni sebesar 90 persen, dan hal ini relatif sama dengan tahun sebelumnya.
Merawat Demokrasi Kebangsaan
Untuk dapat merawat Demokrasi Kebangsaan secara lebih tepat dan terukur, maka diperlukan Karya Kreatif dalam Demokrasi, yang oleh Muhadjir Darwin (2021) disebut sebagai Inovasi Kebangsaan.
Dijelaskannya bahwa, Inovasi Kebangsaan adalah upaya kolektif untuk menemukan atau memperbaharui jati diri kebangsaan dari suatu bangsa.
Ini disebabkan karena, realitas menyajikan kenyataan hidup bahwa, kita adalah bangsa yang plural, tetapi pada tataran mikro atau akar rumput, sentimen anti-keberagaman dibiarkan bertumbuh dan berkembang secara bebas dan leluasa.
Demikian juga, kita dikenal luas sebagai bangsa yang ramah dan lembut, tetapi juga kita punya tradisi komunal yang keras dan kuat. Kita juga sering mengagungkan toleransi dan perdamaian, tetapi Radikalisme dan Intoleransi beragama juga tumbuh dengan subur di Tanah Air.
Menghadapi kenyataan kehidupan kebangsaan yang demikian, maka diperlukan Iklim Politik dan Demokrasi yang semakin memperkokoh karakter multikultural kita, baik pada level individual maupun dalam tataran kolektif dan komunal.
Sebagai bangsa yang besar, maka kita juga perlu memperkokoh karakter yang lemah lembut dengan membersihkan diri dari praktek kekerasan. Kita perkokoh pula karakter moderat dan toleran dalam beragama dengan menjauhkan diri dari Radikalisme dan Intoleransi dengan kekerasan berbasis agama.
Jika diamati secara cermat, maka sebenarnya kelompok Radikalis dan Intoleran di Tanah Air ini, jumlahnya sedikit dan tidak seberapa.
Hasil Survey Lembaga Para Meter Politik Indonesia sebagaimana dinarasikan Adi Prayitno (2021), Direktur Eksekutif Lembaga dimaksud menyatakan bahwa, jumlah mereka tidak lebih dari 9,5 persen per Februari 2020, menjadi 10, 5 persen per Desember 2020.
Tetapi tindakan provokatif yang mereka lakukan untuk mencemari Ruang Publik dan Nuansa Demokrasi Kebangsaan semakin lama tampak kian mengusik ketenangan publik.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan, sebagian besar masyarakat yang moderat, mengambil posisi sebagai silent majority cenderung mengambil posisi diam, serta lamban dalam mereaksi situasi yang sedang noice dengan Ujaran Kebencian dan Hoax serta Radikalisme dan Intoleransi yang dapat bermuara kepada tindakan Terorisme.
Oleh karena itu maka, diperlukan peranserta dari semua pihak untuk merawat Demokrasi Kebangsaan dengan membersihkan Ruang Publik dan Hatinurani Masyarakat akan adanya kontaminasi pemikiran dan tindakan yang mengadung muatan Intoleransi dan Radikalisme, dengan kontra-narasi melalui pendekatan Struktural dan Kultural.
Gerakan melawan Intoleransi dan Radikalisme melalui Jalur Struktural hendaknya ditempuh lewat berbagai peraturan yang disertai dengan konsistensi penegakannya.
Oleh karena itu maka, dengan meminjam Adi Prayitno (ibid) (2021), dikatakan bahwa, kontra-narasi atas penetrasi kaum Radikalis dan Intoleran, tidak hanya diserahkan kepada Kementerian Agama, tetapi hendaknya kepada semua Instrumen Pemerintah serta semua Partai Politik sebagai pemegang otoritas infrastruktur politik kebangsaan.
Dalam pengamatan yang kasat mata, di lingkungan internal pemerintah saja, yakni, di Kementerian, Lembaga Negara, dan BUMN, Pemerintah ditengarai belum bisa membersihkan diri sepenuhnya dari orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok Intoleran dan Radikalis.
Dalam tataran kebijakan dan kehidupan Demokrasi, upaya kontra-radikalisme dan Intoleransi sudah dilakukan oleh Pemerintah.
Akan tetapi persoalannya, terletak pada implementasi yang bersifat musiman.
Dikatakan demikian, karena biasanya upaya Kontra-radikalisme dan Intoleransi dalam kehidupan berdemokrasi, marak dilakukan menjelang kontestasi politik.Pada hal, moderasi agama adalah kebutuhan berbangsa dan bernegara dalam jangka panjang, dan dilakukan secara terus menerus tanpa henti sebagai bagian dari keseharian aktivitas kehidupan.
Sedangkan Jalur Kultural ditempu dengan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terkait dengan Toleransi dan Harmonisasi dalam keberagaman masyarakat yang multikultural.
Pendekatan secara kultural ini dapat diberikan kepada warga masyarakat sebagai umat beragama melalui para Tokoh Agama di Rumah Ibadah dari masing-masing agama, sehingga pada akhirnya Intoleransi dalam Demokrasi Kebangsaan dapat dikurangi secara bertahap dan perlahan, tetapi pasti. By Goris Lewoleba
Source : https://www.kompasiana com/goris26070/5ffbac6e8ede486f250fe432/intoleransi-dalam-demokrasi-kebangsaan
https://www.infotangsel.co.id/2021/01/intoleransi-dalam-demokrasi-kebangsaan_11.html