Latest News

Showing posts with label Demokrasi Pancasila. Show all posts
Showing posts with label Demokrasi Pancasila. Show all posts

Wednesday, February 10, 2021

PANCASILA YANG DITENTANG KAUM EKSTRIMISME AGAMA.

 

*PANCASILA YANG DITENTANG*
*KAUM EKSTRIMISME AGAMA.*

*Dalam buku "Book Art Of Humanism Religius Iran",* tokoh negara Iran -Ali Khamenei (Ali Hossaini Khamenei)- yang pernah menjabat presiden iran dua periode 1981-1989 dan menjabat sebagai pemimpin tertinggi Republik Islam Iran menggantikan Ayatullah Khomeini sejak tahun 1989, bercerita tentang sebuah pengalaman beliau ketika berada dalam tahanan rezim Syah Pahlevi ketika masa perjuangan revolusi iran.

Ali Khamenei dipenjarakan dalam satu sel bersama seorang komunis dari partai Ba'ats (atau sekarang disebut sosialis loyalis). Ali Khamenei datang mendekati tahanan tersebut lalu mengucapkan salam, tapi tahanan tersebut enggan berbicara pada Ali Khamenei dan tidak membalas salamnya.

Tanpa menghiraukan sikap acuh tak acuh dari lawan bicaranya, Ali Khamenei bertanya : "Apa anda seorang komunis dari partai revolusi Ba'ats ??". Orang tersebut tetap diam. Mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah seorang anggota partai Ba'ats yang berhaluan sosialis-komunis, Ali Khamenei mengungkapkan sebuah pertanyaan lagi : "Apakah anda mengenal Soekarno -bapak revolusi kemerdekaan Indonesia-, yang memiliki falsafah Pancasila ??". Mendengar nama Soekarno yang disebut, orang tersebut akhirnya menjawab : "Ya, saya kenal dengan beliau. Ada beberapa buku beliau yang saya miliki ketika saya di Rusia, dan saya pernah bertemu beliau di Rusia".

*"Siapa Soekarno itu di mata anda ??".*
Orang tersebut pun menjawab bahwa Soekarno adalah bapak pertama yang menciptakan negara humanis sosialis, tanpa dasar agama sebagai pilar, tanpa liberalis sebagai acuan kata.
"Anda salah", ujar Ali Khamenei.

"Soekarno memang betul bapak humanis sosialis, tapi Soekarno bukanlah seorang komunis, dan negara beliau tidak berdasarkan agama, tapi berdasarkan Ketuhanan dimana semua manusia wajib bertuhan sebagai dasar kebangsaan. Tanpa dasar ketuhanan itu manusia bagaikan robot yang tidak bisa hidup dengan merdeka", lanjut Ali Khamenei.

Ali Khamenei pun meneruskan : "Saya memiliki buku Pancasila dari seorang Indonesia yang berziarah ke Iran dan belajar serta berdagang disana. Walau kami bertahun-tahun menerjemahkannya, tapi kami tetap semangat untuk menjadikan iran sebagai negara humanisme agama, dimana semua agama saling membangun negara iran tanpa ada perseteruan".

Orang tersebut diam sejenak, tanpa ia sadari ia mengeluarkan airmatanya dan berkata kepada Ali Khamenei : "Kelak kalau saya keluar dari penjara, saya akan datang kerumah anda dan meminjam buku-buku Soekarno itu, karena sangat penting jika iran dijadikan negara yang berdasarkan humanisme agama dimana semua manusia dari berbagai golongan saling membangun negara iran".

Siapakah ia yang diajak bicara oleh Ali Khamanei itu ??
Beliau adalah Abul Hasan Bani Shadr presiden pertama di iran pasca revolusi, dan beliau adalah salah seorang inisiator yang membentuk negara iran sebagai negara humanisme agama, dimana iran pasca revolusi semua agama dan tradisi menjadi satu saling bahu-membahu membangun negaranya dibawah naungan sistem politik wilayatul faqih.

Iran setelah 34 tahun pasca revolusi, belum pernah terjadi gesekan antar agama, baik agama Zoroaster, Yahudi, Nasrani, Baha'i maupun Sunni dan Syi'ah. Bahkan dalam konstitusi iran, agama-agama minoritas tersebut mendapatkan jatah gratis perwakilan di parlemen iran. Semua agama, semua golongan diberikan kesempatan dan ruang untuk sama-sama membangun negara iran yang berbasis humanisme agama.

Sebagai bangsa Indonesia yang memiliki Soekarno sebagai founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan falsafah Pancasila sebagai dasar negara, kita harus berbangga. Ternyata nan jauh disana, di belahan dunia barat asia, di tanah persia (iran), ternyata tokoh-tokoh yang berperan penting dalam revolusi islam iran menjadikan Soekarno dan Pancasila sebagai salah satu inspirasi perjuangan dan konsep negara yang akan mereka bangun nantinya.

Ini fakta saktinya *Pancasila dan Indonesia yang humanis.* Namun sayangnya, di NKRI sendiri, kaum komunis-ekstrimis-agamis selalu berusaha mengganti dasar negara (Pancasila) dengan embel-embel "Syariah", atau dengan dalih "Thoghut", demokrasi ciptaan orang kafir, bla bla bla. Padahal tanpa demokrasi pancasila, boleh jadi mereka dan keluarga mereka sudah jadi mangsa ISIS.

Sunday, January 10, 2021

*Intoleransi dalam Demokrasi Kebangsaan*

*Intoleransi dalam Demokrasi Kebangsaan*
Belum lama berselang, dan hampir tak terasa, Tahun 2020 baru saja berlalu dengan beragam kisah kenangan dan seribu satu suka duka yang menyayat hati,  karena Pandemi Covid-19.


Pasalnya,  hampir setahun penuh tanpa jeda,  bahkan sampai saat ini memasuki Tahun 2021, umat manusia di berbagai belahan dunia ini,  tak terkecuali warga masyarakat bangsa Indonesia telah mengalami suatu paradoks kehidupan yang disebut sebagai  Normal Baru,  yang sebetulnya merupakan suatu tatanan kehidupan yang tidak normal.

*Betapa tidak,  atas situasi pandemi ini,  maka semua segi dan sub kultur kehidupan umat manusia mengalami goncangan* perubahan secara sosial ekonomi  dan sosial budaya dengan muatan politisasi situasi oleh para politisi oportunis,  dan  rasanya kita seperti sedang berada di planet lain,  karena semua  irama kehidupan sedang  berada dalam situasi yang  tidak normal dan tak menentu.

Meski melewati jalan *terjal di tepi jurang kehidupan  sosial ekonomi dan kesehatan yang amat mencekam karena bahaya Pandemi Covid -19*, tetapi jalan itu dilalui dengan beragam risiko, tanpa gejolak sosial politik yang berarti  dan signifikan.

Ini disebabkan karena bangsa Indonesia memiliki Empat Komitmen Kebangsaan yang  telah  menjadi semacam base line dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu,  Pancasila,  UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. (*lanjutkan artikel kreeen berikut di bawah ini ...* 💪😃👭👪👇 )
https://www.infotangsel.co.id/2021/01/intoleransi-dalam-demokrasi-kebangsaan_11.html
Meskipun demikian,  dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Falsafah Negara Pancasila  dengan menganut  Sistem Politik dan  Pemerintahan yang mengacu  kepada Nilai Demokrasi, kerap kali hal itu justru  menjadi bumerang bagi Sistem Demokrasi itu sendiri.

Dikatakan demikian,  karena demi Demokrasi, maka di dalam dirinya an sich berkembang biak secara leluasa, tidak hanya Virus Corona,  tetapi ada Varian Virus lain yang jauh lebih berbahaya yaitu Intoleransi,  Radikalisme dan Terorisme. Ketiga Virus ini adalah saudara sepupu,  yang merupakan  muatan Three In One di dalam satu Sistem Demokrasi Kebangsaan yang  sedang terjadi di Tanah Air.

Intoleransi dan Kemunduran Demokrasi
Dinamika  dan perkembangan iklim Politik dan Demokrasi  di negeri ini sangat dipengaruhi oleh berbagai hal,  terutama terkait dengan Residu Perubahan Politik Pasca Reformasi di Indonesia.

Sehubungan dengan hal itu,  maka sebagaimana yang  disinyalir oleh Burhanuddin Muhtadi (2018)  bahwa,  dalam dua dasawarsa masa reformasi ini, kehidupan berdemokrasi di Indonesia,  tampak belum sepenuhnya mengalami peningkatan kualitasnya secara signifikan.

Hal yang terjadi justru sebaliknya, dimana demokrasi mengalami kemunduran. Dan paling tidak, terdapat dua masalah yang dinilai berkontribusi pada kemunduran Demokrasi di Indonesia,  yaitu Korupsi dan Intoleransi.

Hal inilah  yang melatarbelakangi LSI (Lembaga Survey Indonesia)  melakukan Survei Nasional mengenai tren persepsi publik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi.

Dilaporkan  bahwa,  survei dilakukan selama 1-7 Agustus 2018 dengan melibatkan 1.520 responden Muslim dan non-Muslim. Hasil survei memperlihatkan bahwa, salah satu penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia adalah "Kebebasan Sipil" sebagai derivasi dari Pemberlakuan Sistem  Demokrasi itu sendiri.

Terkait  dengan hal itu,  maka ukurannya adalah bahwa,  apapun latar belakang agama, sosial, dan etnik, setiap orang  mestinya mendapat peluang yang sama untuk menjadi pejabat publik atau menjalankan hak beribadah, berkeyakinan, dan berekspresi sesuai dengan Ajaran Agama  dan Kepercayaannya itu.

Lebih lanjut dijelaskannya bahwa, secara teknis,  ada enam pertanyaan yang diajukan, dimana empat pertanyaan terkait dengan Intoleransi Politik,  dan dua lainnya mengenai Intoleransi Religius dan Kultural.

Pertanyaan terkait dengan Intoleransi Politik kepada responden Muslim di antaranya adalah apakah Anda keberatan atau tidak keberatan,  jika non-Muslim menjadi Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati atau Wali Kota. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden non-Muslim.

Sedangkan pertanyaan terkait Intoleransi Religius  misalnya soal izin mendirikan rumah ibadah bagi Muslim atau non-Muslim serta Perayaan Keagamaan di sekitar tempat tinggal Anda.

Atas hasil survei tersebut dilaporkan bahwa,  mayoritas Warga Muslim (54 persen) tidak keberatan jika orang non-Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya. Tetapi sebagian besar Warga Muslim (52 persen) keberatan kalau orang non-Muslim membangun Rumah Ibadah di sekitar tempat tinggalnya.

Demikian  juga dijelaskan bahwa, 52 persen Warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi Wali Kota, Bupati, atau Gubernur. Sebanyak 55 persen Warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi Wakil Presiden. Penolakan makin besar ketika jabatan yang ditanyakan adalah Presiden, di mana 59 persen Warga Muslim keberatan bila non-Muslim menjadi Presiden.


Sebaliknya, dinarasikan juga bahwa,  mayoritas warga non-Muslim (84 persen) tidak keberatan jika orang Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya,  70 persen tidak keberatan bila warga Muslim membangun tempat ibadah, di sekitar tempat tinggalnya, dan 78 persen tidak menolak kalau orang Muslim menjadi Wali Kota, Bupati, atau Gubernur, dan 86 persen warga non-Muslim tidak keberatan jika orang Muslim menjadi Presiden atau Wakil Presiden.

Kemudian,  Burhanuddin (ibid) menjelaskan bahwa Intoleransi Politik terhadap non-Muslim terus berlanjut dan efeknya mulai menular ke level sosial dalam  sudut pandang yang lebih luas.  Dijelaskannya pula bahwa,  sebelum ada Gerakan 212, tren Intoleransi Politik dan Intoleransi Religius  memang berada pada posisi sosial yang landai.

Sehubungan dengan itu, ditegaskannya pula bahwa,  bukan Gerakan  212 yang merupakan puncak dari radikalisme dan intoleransi,  tetapi Gerakan  212 yang justru membuka keran terhadap makin naik dan maraknya perilaku intoleransi di muka publik dalam negeri.

Meskipun demikian,  pada sisi lain ada hasil yang cukup memberi harapan. Survei ini memperlihatkan bahwa, dukungan pada peran dan orientasi Demokrasi mencapai 83 persen, atau naik dibanding tahun sebelumnya,  yang mencapai 76 persen. Demikian pula tingkat kepuasan atas jalannya Demokrasi yang mencapai  73 persen.

Survei inipun mengungkapkan bahwa, mayoritas responden setuju dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, yakni sebesar 90 persen,  dan hal ini relatif sama dengan tahun  sebelumnya.

Merawat Demokrasi Kebangsaan
Untuk dapat  merawat Demokrasi Kebangsaan secara lebih tepat dan terukur,  maka diperlukan Karya Kreatif dalam Demokrasi, yang  oleh Muhadjir Darwin (2021) disebut sebagai Inovasi Kebangsaan.

Dijelaskannya bahwa,  Inovasi Kebangsaan adalah upaya kolektif untuk menemukan atau memperbaharui jati diri kebangsaan dari suatu bangsa.

Ini disebabkan karena,  realitas menyajikan kenyataan  hidup  bahwa,  kita adalah bangsa yang plural,  tetapi pada tataran mikro atau akar rumput, sentimen anti-keberagaman dibiarkan bertumbuh dan berkembang secara bebas dan leluasa.

Demikian juga, kita dikenal  luas sebagai bangsa yang ramah dan lembut, tetapi juga kita punya tradisi komunal yang keras dan kuat. Kita juga sering mengagungkan toleransi dan perdamaian, tetapi  Radikalisme dan Intoleransi beragama juga tumbuh  dengan subur di Tanah Air.

Menghadapi kenyataan kehidupan kebangsaan yang demikian,  maka diperlukan Iklim Politik dan Demokrasi yang semakin memperkokoh karakter  multikultural kita, baik pada level individual maupun dalam tataran kolektif dan komunal.

Sebagai bangsa yang besar,  maka kita juga perlu memperkokoh karakter yang  lemah lembut dengan membersihkan diri dari praktek kekerasan. Kita perkokoh pula karakter  moderat dan toleran  dalam beragama dengan menjauhkan diri dari Radikalisme dan Intoleransi dengan kekerasan berbasis agama.

Jika diamati  secara cermat, maka sebenarnya kelompok Radikalis dan Intoleran di Tanah Air ini,  jumlahnya sedikit  dan tidak seberapa.

Hasil Survey Lembaga Para Meter Politik Indonesia  sebagaimana  dinarasikan   Adi  Prayitno (2021),   Direktur Eksekutif Lembaga dimaksud  menyatakan bahwa,  jumlah mereka tidak lebih  dari 9,5 persen per Februari 2020, menjadi 10, 5 persen per Desember 2020.

Tetapi tindakan provokatif yang mereka lakukan untuk mencemari Ruang Publik dan Nuansa Demokrasi Kebangsaan semakin lama  tampak kian mengusik ketenangan publik.

Sementara itu, pada saat yang bersamaan,  sebagian besar masyarakat yang moderat,  mengambil posisi sebagai silent majority cenderung mengambil posisi diam,  serta lamban  dalam mereaksi situasi yang  sedang noice dengan Ujaran Kebencian dan Hoax serta Radikalisme dan Intoleransi yang dapat bermuara kepada tindakan Terorisme.

Oleh karena itu maka,  diperlukan peranserta dari semua pihak untuk merawat Demokrasi Kebangsaan dengan membersihkan Ruang Publik dan Hatinurani Masyarakat akan adanya kontaminasi  pemikiran dan tindakan yang mengadung muatan Intoleransi dan  Radikalisme, dengan kontra-narasi melalui pendekatan Struktural dan Kultural.

Gerakan melawan Intoleransi dan Radikalisme melalui Jalur Struktural hendaknya ditempuh lewat berbagai peraturan yang disertai  dengan konsistensi penegakannya.

Oleh karena itu maka, dengan meminjam Adi Prayitno (ibid) (2021), dikatakan bahwa, kontra-narasi atas penetrasi kaum Radikalis dan Intoleran, tidak hanya diserahkan kepada Kementerian Agama, tetapi hendaknya kepada semua Instrumen Pemerintah serta semua Partai Politik sebagai pemegang otoritas infrastruktur politik kebangsaan.

Dalam pengamatan yang kasat mata, di lingkungan internal pemerintah saja, yakni, di Kementerian, Lembaga Negara, dan BUMN, Pemerintah ditengarai belum bisa membersihkan diri sepenuhnya dari orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok Intoleran dan Radikalis.

Dalam tataran kebijakan dan kehidupan Demokrasi, upaya kontra-radikalisme dan Intoleransi sudah dilakukan oleh Pemerintah.
Akan tetapi  persoalannya,  terletak pada implementasi yang bersifat musiman.

 Dikatakan demikian,  karena biasanya upaya Kontra-radikalisme dan Intoleransi dalam kehidupan berdemokrasi,  marak dilakukan menjelang kontestasi politik.Pada hal, moderasi agama adalah  kebutuhan  berbangsa dan bernegara  dalam jangka panjang,  dan dilakukan  secara terus menerus tanpa henti sebagai  bagian dari keseharian aktivitas kehidupan.

 Sedangkan Jalur Kultural ditempu dengan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terkait  dengan Toleransi dan Harmonisasi dalam keberagaman masyarakat yang multikultural.

Pendekatan secara kultural ini dapat diberikan kepada warga masyarakat sebagai umat beragama melalui para Tokoh Agama di Rumah Ibadah dari masing-masing agama, sehingga pada akhirnya Intoleransi dalam Demokrasi Kebangsaan dapat dikurangi secara bertahap dan perlahan,  tetapi pasti. By Goris Lewoleba

Source : https://www.kompasiana com/goris26070/5ffbac6e8ede486f250fe432/intoleransi-dalam-demokrasi-kebangsaan

INFOTANGSEL.CO.ID

https://www.infotangsel.co.id/2021/01/intoleransi-dalam-demokrasi-kebangsaan_11.html